Friday 22 July 2016

Bebaskan Siswa dalam Memilih


Berbicara mengenai SMA tak bisa lepas dari jurusan IPA dan IPS. Anak IPA yang selalu dianggap superior berbanding terbalik dengan anak IPS dianggap inferior. Anak IPA dikenal sebagai anak yang berprestasi, baik, sopan, dan berprestasi berbanding terbalik dengan anak IPS yang kerap kali dianggap nakal, tukang berkelahi, dan bodoh.


Teringat saat masih duduk di Bangku SMA. Hari itu ada tugas yang diberikan oleh guru sehingga mengharuskan saya pergi print tugas di salah satu tempat percetakan di depan sekolah. Tukang print bertanya kepada saya “kamu jurusan apa, IPA atau IPS?”. Kemudian dengan bangga saya mengatakan “jurusan IPS” seketika sang tukang print menatap sinis saya.

Pandangan sebelah mata terhadap jurusan IPS adalah suatu hal yang salah. Masuk dalam jurusan IPS adalah sebuah pilihan bukan sebuah nasib. Paradigma yang memandang bahwa anak IPS terkenal sebagai anak nakal adalah paradigma yang salah. Memang beberapa siswa nakal dalam suatu sekolah adalah anak IPS, tapi banyak juga anak IPA yang sering masuk ruang BK karena kenakalan mereka sendiri.

Dalam proses pemilihan jurusan tiap sekolah memiliki tekhnik masing-masing dalam menyeleksi siswa untuk masuk kedalam jurusan yang sesuai dengan minat dan bakat siswa. Di SMA ku dulu, guru BK bekerja sama dengan guru Matematika untuk menyeleksi siswa yang bisa masuk dalam jurusan IPA. Guru matematika membuat kriteria tertentu sebagai syarat untuk masuk kedalam jurusan IPA. Siswa yang tidak lolos kriteria kemudian harus masuk dalam jurusan IPS.

Hal ini merupakan diskriminasi dari sistem pendidikan menurut pandangan saya. Siswa yang masuk jurusan IPS terkesan sebagai siswa yang tidak lolos seleksi padahal ada memang siswa yang memilih jurusan itu. Rasa minder pun selalu berada di benak anak IPS. Paradigma masyarakat yang memandang bahwa jurusan IPS itu berisi anak-anak yang kurang pintar dan nakal-nakal menambah rasa minder dari anak ini. Dengan adanya paradigma itu seakan anak IPS dipersilahkan untuk tidak belajar dan berlaku nakal padahal anak IPS mempunyai hak yang sama dengan anak IPA.

Paradigma masyarakat yang memandang jurusan IPA sebagai jurusan Superior dan IPS sebagai jurusan Inferior juga mempengaruhi psikologi siswa. Siswa yang pintar dan memiliki minat dan bakat untuk masuk di jurusan IPS akan berpikir berkali-kali. Justifikasi dari masyarakat selalu menghantui mereka. Akhirnya anak yang pintar ini yang memiliki minat dan bakat yang cocok untuk jurusan IPS mengambil jurusan IPA. Dengan berbedanya minat dan bakat yang dimiliki dengan jurusan yang dipilih membuat siswa ini tertinggal dalam pelajaran. Hal ini menghilangkan potensi yang bisa dikembangkan dari siswa ini.

Mari kita menghargai pilihan dari masing-masing siswa. Jurusan IPA dan IPS adalah jurusan yang setara. Paradigma yang memandang jurusan IPS sebagai jurusan nomor dua adalah hal yang salah. Seorang siswa masing-masing mempunya minat dan bakat yang berbeda, jadi jangan salahkan mereka ketika memilih jurusan yang sesuai dengan minat mereka. Mendampingi mereka dalam memilih jurusan tanpa intervensi adalah hal yang patut dilakukan. Dengan jurusan yang mereka pilih sendiri secara tidak langsung akan membuat tanggung jawab sosial untuk bersungguh-sungguh dalam menggeluti dunia pendidikan.